Tulisan ini saya comot dari diskusi yang terjadi di halaman Facebook Himpunan Penerjemah Indonesia. Salah seorang rekan penerjemah mempertanyakan kenapa di dunia pelokalan perlu ada tahapan QA (Quality Assurance) segala. Sementara di dunia penerbitan buku, proses penerjemahan sepertinya lebih sederhana tapi hasilnya tetap enak dibaca. Tidak perlu ada model tahapan QA yang sering kali menjadi ajang debat kusir antara penerjemah dan editor.
Menurut saya, di dunia pelokalan kita lebih sering menemui tahapan QA ini karena proses penerjemahan buku dan proses penerjemahan pada pelokalan memang berbeda, seperti terlihat pada diagram yang (terlalu) sederhana ini:
Pada proses penerjemahan buku, secara umum si penerjemah menerjemahkan dari awal sampai akhir, dari halaman depan sampai belakang.
Pada proses pelokalan, secara umum (kecuali saat pertama kali tentunya) teks tidak diterjemahkan secara linear tapi secara vertikal, baik dalam hal waktu penerjemahan atau pun dalam hal penerjemah. Karena berasal dari beragam sumber, teks tidak mengenal kata awal dan akhir. Mana yang perlu atau siap untuk diterjemahkan akan diterjemahkan terlebih dulu.
Selain itu, mengingat bahwa pelokalan adalah tentang produk, bukan semata-mata tentang teks, objek yang perlu diterjemahkan biasanya beragam (teks pada kemasan produk, teks pada manual produk, teks untuk keperluan marketing, dsb) tetapi tetap menuntut konsistensi gaya terjemahan yang tinggi. Itulah menurut saya penjelasan mengapa penerjemahan dalam proses pelokalan memerlukan tahapan QA.