Kira-kira seperti inilah dana terjemahan mengalir (atau menetes) dari perusahaan internasional sampai ke telapak tangan penerjemah lepas di Indonesia:
Menurut penerawangan saya, tiap turun satu jenjang tarif per kata bisa terpotong sekitar 40%.
Untuk penerjemah lepas, jika ingin memaksimalkan pendapatan salah satu caranya dengan naik ke jenjang berikutnya. Jadi alih-alih kerja dengan agensi Indonesia, kerjalah dengan agensi regional, dst.
Tetapi cara seperti ini juga ada batasnya. Tidak semua perusahaan klien mau mengurusi tetek bengek dengan penerjemah lepas. Bayangkan saja kalau produk mereka harus dillokalkan ke 35 bahasa misalnya. Ribet kalau perusahaan harus kontak langsung dengan 35 penerjemah lepas, belum lagi nanti ada masalah legal, dsb. Itu sebabnya hierarki seperti ini tercipta.
Tantangan lainnya, penerjemah boleh berusaha naik ke jenjang berikutnya, tapi agensi internasional juga terus berusaha turun. Cara yang umum biasanya mereka mendirikan kantor di banyak negara (atau sekadar mencari karyawan virtual). Jadi otomatis mereka bisa memotong jenjang agensi regional (atau bahkan nasional). Berbekal ini, mereka biasanya akan mengetuk pintu penerjemah langsung menyodorkan tarif yang lumayan rendah dengan alasan, “Kami kan perusahaan lokal. Jangan tinggi-tinggi dong tarifnya”.