Lokalisasi (localization) akhir-akhir ini menjadi jargon yang cukup sering dibicarakan dalam konteks penerjemahan. Sebagai subjek yang semakin populer dalam ranah praktik penerjemahan, lokalisasi semakin sering ditemui dalam kerja sehari-hari penerjemah. Meskipun pada dasarnya penerjemahan dalam proses lokalisasi kurang lebih sama dengan penerjemahan pada umumnya, ada kesalahkaprahan yang menyebutkan bahwa keduanya berbeda. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa penerjemahan dalam proses lokalisasi dapat menghasilkan terjemahan yang lebih baik daripada penerjemahan biasa. Untuk selanjutnya, tulisan ini akan berusaha menjabarkan proses lokalisasi secara umum, menunjukkan bahwa pendapat seperti di atas tidak tepat, dan memberikan gambaran sederhana peran penerjemah dan penerjemahan dalam proses lokalisasi.
Dalam The Globalization Industry Primer, LISA, Localization Industry Standards Association, mendefinisikan lokalisasi (localization) sebagai proses mengubah produk atau layanan untuk dapat memenuhi kebutuhan yang berbeda di pasar yang berbeda (Arle, 2007:11). Definisi ini menunjukkan bahwa proses lokalisasi tidak melulu tentang penerjemahan; namun juga tentang beberapa faktor lainnya yang juga sama pentingnya dengan penerjemahan. Tidak seperti penerjemahan pada umumnya yang mengubah teks dalam sebuah bahasa ke bahasa yang lain; proses lokalisasi mengubah sebuah produk atau layanan keseluruhan yang ditujukan untuk sebuah pasar menjadi produk atau layanan yang dapat terima untuk pasar yang lain. Dalam terbitan yang sama, disebutkan bahwa lokalisasi selain mencakup masalah linguistik juga mencakup masalah fisik, masalah bisnis dan budaya, dan masalah teknis.
Lokalisasi sebuah produk telepon seluler, misalnya, kurang lebih akan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut.
- Perusahaan produsen telepon seluler menghubungi perusahaan lokalisasi untuk melokalkan produk telepon selulernya.
- Perusahaan lokalisasi membentuk tim untuk menangani proyek tersebut. Tim ini akan menyiapkan sumber daya dan mengkoordinir proyek lokalisasi secara keseluruhan.
- Tim menerima produk telepon seluler dari perusahaan produsen telepon seluler beserta kemasan, pedoman penggunaan, atau dokumentasi lainnya, termasuk catatan mengenai penyesuaian-penyesuaian fisik yang telah atau akan dilakukan pada produk tersebut.
- Sumber daya teknis tim tersebut mengekstrak semua teks yang akan diterjemahkan, baik dari perangkat telepon seluler tersebut maupun dari dokumentasi lainnya.
- Sumber daya penerjemahan melakukan proses penerjemahan, termasuk penyuntingan, pada teks tersebut dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan teknis tertentu, dan catatan khusus dari perusahaan klien terkait dengan aspek bisnis dan budaya pasar yang dituju.
- Teknisi menerima hasil terjemahan dan mengembalikan hasil terjemahan ke dalam bentuk asalnya, baik dalam perangkat telepon seluler maupun dalam dokumentasi lainnya.
- Penerjemah menerima produk telepon seluler dan dokumentasinya dalam bentuk akhir untuk diujicoba dan diperiksa apakah ada kesalahan dalam penerjemahannya.
- Teknisi melakukan uji coba dan pemeriksaan secara fungsional untuk memastikan produk telah siap digunakan dalam bentuk akhirnya.
- Perusahaan klien menerima hasil lokalisasi yang berupa produk telepon seluler dalam bahasa yang diinginkan dan telah disesuaikan dengan pasar yang dituju, bebas dari kesalahan fungsional.
Contoh proses lokalisasi di atas dapat memberikan gambaran ringkas bahwa proses lokalisasi tidak hanya melibatkan penerjemahan saja. Proses lokalisasi melibatkan banyak orang dari bidang profesi yang berbeda. Sebaliknya, penerjemahan merupakan bagian dari proses lokalisasi secara keseluruhan. Penerjemahan dalam proses lokalisasi sendiri tidak banyak berbeda dengan penerjemahan pada umumnya: “mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran” (Catford dalam Machali, 2009:25).
Terlepas dari kenyataan ini, banyak pendapat yang berusaha membedakan penerjemahan dalam proses lokalisasi dari penerjemahan pada umumnya. Penerjemahan pada proses lokalisasi bahkan sering dikatakan dapat menghasilkan terjemahan yang lebih baik. Beberapa contoh pendapat yang sering dikemukakan misalnya (1) bahwa penerjemahan dalam lokalisasi bukan sekadar menerjemahkan biasa, tapi lebih ke pelokalan, menyesuaikan isi ke sistem linguistik dan budaya wilayah yang menjadi tujuan lokalisasi; (2) bahwa penerjemahan dalam lokalisasi tidak menerjemahkan secara harfiah teks bahasa sumber tapi disesuaikan dengan pasar sasaran atau pengguna sasaran; serta (3) bahwa penerjemahan dalam lokalisasi tidak memindahkan mentah-mentah suatu konsep dalam budaya bahasa sumber ke bahasa target; dan sebagainya.
Dari beberapa pendapat tersebut, menarik untuk dicatat bahwa semua yang disebutkan sebagai pembeda penerjemahan dalam proses lokalisasi dari penerjemahan pada umumnya sebenarnya juga sudah tercakup dalam pembahasan studi penerjemahan sejak puluhan tahun yang lalu. Contoh yang pertama misalnya dalam studi penerjemahan dikenal sebagai strategi domestikasi. Dalam strategi ini, penerjemahan dilakukan dengan gaya yang transparan, lancar, “tembus pandang” untuk meminimalisir kenampakan unsur-unsur asing dari teks sumber dalam teks sasaran (Munday, 2001:146). Strategi ini sendiri sudah digunakan semenjak zaman Romawi Kuno (Baker, 2001:241). Contoh yang kedua, yang berbicara tentang menyesuaikan terjemahan dengan pasar atau pengguna sasaran, erat sekali hubungannya dengan teori Skopos dalam studi penerjemahan. Teori ini merupakan salah satu pendekatan dalam penerjemahan yang dikembangkan di Jerman pada tahun 1970-an. Teori ini memandang bahwa proses penerjemahan, seperti kegiatan manusia lainnya, memiliki tujuan tertentu. Tujuan inilah yang menentukan jalannya proses penerjemahan, bukan teks sumber (Baker, 2001:235). Contoh pendapat yang ketiga pada paragraf di atas dalam konteks studi penerjemahan akan mengacu pada konsep ekuivalensi dinamis. Penerjemahan ekuivalensi dinamis bertujuan untuk mencapai kealamiahan ekspresi yang utuh dan mencoba untuk mengaitkan pembaca dengan sesuatu yang relevan dengan konteks budayanya sendiri (Hatim, 2005:167).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan penerjemahan dalam proses lokalisasi lebih baik daripada penerjemahan pada umumnya tidaklah tepat karena sejatinya keduanya adalah sama. Hingga saat ini, belum ada ciri khusus penerjemahan dalam proses lokalisasi yang dapat secara nyata menjadi pembeda, baik dalam hal kualitas hasil atau pun metode, dari penerjemahan pada umumnya. Pendapat tersebut kemungkinan muncul karena kurangnya pengetahuan teoritis penerjemah terkait dengan studi penerjemahan.
Penerjemah harusnya lebih dapat memanfaatkan berbagai teori penerjemahan yang telah ada dalam bahasan studi penerjemahan saat terlibat dalam proses lokalisasi.
Dengan berbekal hasil penelitian dalam studi penerjemahan yang telah berlangsung sangat lama, penerjemah juga dapat menawarkan perspektif atau pertimbangan-pertimbangan yang biasanya tidak ditemukan dalam proses lokalisasi (Pym, 2004:5).
Namun demikian, sebaliknya, tidak dapat dimungkiri, dengan adanya faktor-faktor lain yang terlibat dalam lokalisasi (faktor teknis, fisik, bisnis, dan budaya), praktik penerjemahan dalam proses lokalisasi pasti juga terpengaruh oleh proses lokalisasi secara keseluruhan.
Keterbatasan ruang dalam penerjemahan teks perangkat lunak, misalnya, akan memaksa penerjemah untuk membatasi panjang terjemahannya dengan memilih kata-kata bahasa sasaran yang lebih pendek. Dalam memilih istilah yang akan digunakan dalam terjemahannya, penerjemah juga akan mempertimbangkan faktor bisnis. Penggunaan kata dalam bahasa sasaran yang kurang populer mungkin terpaksa akan dihindari karena akan menurunkan tingkat keterbacaan dan penerimaan pengguna terhadap produk yang dilokalkan tersebut. Dengan demikian, dalam pengambilan keputusan, penerjemah tidak lagi hanya mempertimbangkan aspek-aspek linguistik dan penerjemahan saja.
Penutup
Lokalisasi melibatkan banyak tahapan proses. Penerjemahan sendiri adalah salah satu tahapan di dalamnya. Dalam kaitannya dengan peran penerjemah dalam lokalisasi, kerja penerjemahan dalam lokalisasi tidak banyak berbeda dengan penerjemahan secara umum. Penerjemah dapat, dan memang sudah seharusnya, memanfaatkan teori-teori penerjemahan yang telah ada saat terlibat dalam proses lokalisasi. Hanya saja, mengingat adanya faktor-faktor teknis non-penerjemahan yang terlibat, praktik penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah dalam proses lokalisasi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Pada akhirnya nanti, atau bahkan telah dan sedang terjadi, proses lokalisasi akan turut membentuk teori-teori penerjemahan baru yang dapat mengembangkan studi penerjemahan secara umum.
Daftar Pustaka
- Baker, Mona. 2001. Routledge Encyclopedia of Translation Studies. New York: Routledge.
- Hatim, Basil., dan Munday, Jeremy. 2005. Translation: An Advanced Resource Book. New York: Routledge.
- Lommel, Arle. 2007. The Globalization Industry Primer.
- Machali, Rochayah. 2009. Pedoman bagi Penerjemah: Panduan Lengkap bagi Anda yang Ingin Menjadi Penerjemah Profesional. Bandung: Kaifa.
- Munday, Jeremy. 2001. Introducing Translation Studies: Theories and Applications. New York: Routledge.
- Pym, Anthony. 2004. Localization from the Perspective of Translation Studies: Overlaps in the Digital Divide? (Paper presented to the SCALLA conference, Kathmandu).
<Tulisan ini pertama kali dimuat pada tanggal 29 April 2010 di Blog Bahtera>
[…] lokalisasi dan penerjemahan sebenarnya bukan dua hal yang jauh berbeda. Berikut pendekatan lokalisasi dan penerjemahan yang secara teknikal keduanya […]
Ping balik by Lokalisasi = Penerjemahan ? - Brainy Translation — 01/12/2020 @ 09:57