“Saya seorang pemula dalam dunia penerjemahan. Apakah karena saya seorang pemula saya harus menunggu lama untuk dapat proyek?”
Saya agak bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan yang dilempar ke milis Bahtera ini. Saya yakin kalau sebagai penerjemah pemula kita hanya menunggu, sampai kapan pun kemungkinan dapat proyek terjemahan sangatlah kecil.
Saya rasa tidak ada orang yang tiba-tiba saja berubah dari penerjemah pemula menjadi penerjemah senior yang kebanjiran proyek dalam satu malam. Ada proses yang harus dilalui dan proses ini memerlukan waktu yang tidak singkat dan usaha yang tidak sedikit.
Apalagi jika kita hanya menunggu tanpa melakukan apapun. Seseorang disebut sebagai penerjemah karena dia menerjemahkan. Kalau ingin menjadi penerjemah, tentu kita tidak boleh hanya diam dan tidak melakukan kerja penerjemahan.
Mulanya
Cerita awal mula saya mendapat proyek terjemahan agak datar karena memang saya berlatar belakang pendidikan Sastra Inggris. Karier saya sebagai penerjemah terbangun pelan-pelan selangkah demi selangkah sejak kuliah.
Saya ingat sejak semester pertama saya menyandang status mahasiswa Sastra Inggris, orang-orang di sekeliling saya mulai bertanya apakah saya bisa menerjemahkan. Saya baru mulai berani menjalin kerja sama dengan sebuah rental komputer di belakang rumah kos saya ketika masuk tahun kedua kuliah. Si empunya rental waktu itu sering melihat saya mengetik dalam Bahasa Inggris dan mengajak saya bekerja sama. Dia menerima order terjemahan di rentalnya dan meminta saya untuk mengerjakannya.
Setelah itu, saya terus menambah outlet saya dengan bermitra dengan rental komputer lainnya di sekitar kos dan kampus. Puncaknya ada 5-6 rental komputer yang mensuplai proyek terjemahan ke saya. Tarifnya waktu itu memang tidak seberapa tapi lebih dari cukup buat saya yang masih mahasiswa dan cukup menyibukkan saya yang hanya bekerja paruh waktu.
Dua tahun setelah saya mulai menerjemahkan secara profesional. Saya mulai berani bercerita kepada teman dan keluarga saya kalau saat itu saya bekerja sebagai sebagai penerjemah lepas. Saya pun kemudian mulai mendapatkan proyek terjemahan dari teman, temannya teman, dan koneksi lainnya di lingkungan kampus.
Tarif terjemahan untuk klien perseorangan seperti ini tentunya lebih tinggi dari pada yang saya dapat dari rental. Volumenya juga biasanya lebih besar karena materi yang harus diterjemahkan biasanya berupa makalah dan karya ilmiah lainnya. Dari satu klien saja saya bisa mendapatkan order hingga beratus-ratus halaman dokumen.
Proyek luar negeri
Periode penerjemah rental dan klien perseorangan itu juga saya jalani selama dua tahun hingga saya mendapatkan pekerjaan tetap di sebuah agensi terjemahan. Momen bekerja di agensi ini paling berkesan buat saya karena saya belajar banyak hal di sana tentang bisnis terjemahan internasional.
Agensi tempat saya bekerja sebagian besar kliennya adalah klien internasional. Saya di sini mulai belajar tentang CAT tool, korespondensi via email, membuat proposal penawaran, mengirim invoice, dsb. Pada tahun yang sama saya juga berkenalan dengan milis Bahtera, mengikuti seminar penerjemahan pertama saya di UI, dan juga menjadi anggota Himpunan Penerjemah Indonesia.
Ketika itu saya tetap bisa bekerja sebagai penerjemah paruh waktu karena kebijakan perusahaan tidak melarang karyawannya bekerja lepas setelah jam kerja. Saya mulai berhenti menerima proyek dari rental komputer karena tarifnya semakin terasa terlalu rendah. Sebagai gantinya, saya mengerjakan proyek dari kantor di malam hari yang dibayar sebagai pekerjaan lepas.
Selain itu, saya juga mulai membuat profil di Proz dan Translatorscafe. Hampir setiap hari ketika itu saya mengirimkan lamaran dan mengajukan penawaran ke agensi-agensi yang ada di kedua situs itu. Proyek dari luar negeri pertama saya dapat sekitar 4 tahun sejak saya mulai menerjemahkan. Proyek ini saya dapat sendiri dari Proz, bukan dari agensi tempat kerja saya. Butuh waktu sekitar 1 bulan sejak saya mulai mengirimkan lamaran ke banyak agensi hingga mendapatkan proyek itu.
Penerjemah lepas full-time
Lima tahun sejak pertama kali menerima order terjemahan, portofolio klien saya sudah lumayan lengkap: Saya masih punya klien perseorangan yang setia mengirimkan order terjemahan. Saya bekerja sama dengan beberapa agensi terjemahan lokal yang rajin mengirimkan pekerjaan kepada saya. Saya selalu punya setidaknya satu order terjemahan buku dari penerbit yang bisa saya kerjakan ketika order yang lain sedang sepi. Saya juga mempunyai beberapa langganan agensi luar negeri yang secara berkala mengirimkan order terjemahan kepada saya.
Ketika itu pendapatan saya dari pekerjaan lepas saya mencapai berkali-kali lipat dari gaji saya di kantor. Saya pun memutuskan untuk keluar dan menjadi penerjemah lepas full-time. (Beberapa tahun kemudian saya pindah ke Singapura untuk menjadi penerjemah in-house tapi itu lain cerita).
Jalur karier ideal
Menjawab pertanyaan di awal tadi, saya tidak pernah menunggu mendapatkan proyek. Sebaliknya saya justru mulai merasa sebagai penerjemah ketika sudah mulai banyak mengerjakan proyek terjemahan. Kalau dirangkum kurang lebih jalurnya seperti ini:
- Tahun ke-1: Mengambil pendidikan bahasa formal
- Tahun ke-2: Mulai menerima order proyek terjemahan
- Tahun ke-5: Bekerja di agensi terjemahan
- Tahun ke-5: Mulai menerima order proyek luar negeri
- Tahun ke-6: Menjadi penerjemah lepas full-time
Menurut saya yang saya lalui agak acak. Kalau saya bisa memilih dan menata jalur karier saya sendiri dari awal, idealnya menurut saya urutannya seperti ini seharusnya:
- Tahun ke-1: Mengambil pendidikan bahasa formal
- Tahun ke-2: Mulai menerima order proyek terjemahan
- Tahun ke-3: Bekerja/magang di agensi terjemahan
- Tahun ke-4: Mulai menerima order proyek luar negeri
- Tahun ke-5: Menjadi penerjemah lepas full-time
Dengan jalur seperti ini, begitu lulus kuliah, kita sudah punya cukup banyak klien dan pengalaman untuk bekerja sebagai penerjemah lepas full-time.