Salah satu ketakutan saya sebagai penerjemah yang tidak tinggal di Indonesia adalah kehilangan kemampuan bahasa Indonesia saya. Meskipun sebenarnya saya tidak bermukim sejauh itu dari Indonesia. Dari sini, Singapura, saya hanya perlu waktu sekitar 1 jam untuk sampai ke Batam. Saya juga selalu pulang ke rumah saya di Batam setiap akhir pekan. Jadi kalau dihitung mungkin saya menghabiskan sekitar 70 persen waktu saya di luar Indonesia.
Tapi sehari-hari di kantor saya selalu berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris, baik ketika menulis/membaca email, rapat, mau pun ngobrol dengan rekan kerja. Ini berarti dalam lingkungan pekerjaan, saya lebih banyak terpapar oleh bahasa Inggris daripada Bahasa Indonesia. Saya khawatir lama kelamaan bahasa Indonesia saya akan semakin terkikis atau terpengaruh dengan bahasa Inggris (Kalau tidak salah gejala ini disebut Language Attrition).
Untuk orang yang tidak bekerja di bidang penerjemahan, mungkin ini tidak akan menjadi masalah. Tetapi untuk seorang penerjemah, saya curiga gejala ini perlahan-lahan akan tampak dalam hasil terjemahan saya. Mungkin saya merasa menulis dalam bahasa Indonesia tapi diam-diam struktur bahasa Inggris ikut masuk ke dalam kalimat-kalimat saya. Atau bisa juga saya semakin lama akan semakin nyaman menggunakan istilah asing mentah-mentah tanpa merasa perlu mencari padanannya di bahasa Indonesia yang sudah ada.
Solusi yang terpikirkan saat ini adalah saya selalu berusaha untuk memaparkan diri ke Bahasa Indonesia sebanyak dan sesering mungkin. Kalau di kantor saya lebih banyak mengkonsumsi dan memproduksi teks atau ujaran dalam bahasa Inggris, di luar jam kerja, termasuk saat akhir pekan di Batam, saya berusaha menenggelamkan diri kembali ke lingkungan bahasa Indonesia. Karena keluarga saya masih di Indonesia, pulang kerja misalnya saya banyak bercakap-cakap dengan mereka dalam Bahasa Indonesia informal melalui telepon.
Berkat Internet, saya juga masih bisa mendengarkan radio di Yogjakarta yang selalu saya dengarkan sejak zaman kuliah dulu. Dari siaran radio seperti ini biasanya kita bisa mengikuti kata-kata slang yang sedang tren. Kalau sedang ada waktu, saya juga sering menonton acara-acara televisi Indonesia, baik yang langsung melalui streaming atau rekaman yang ada di Youtube. Untuk bahasa yang lebih baku, saya bisa menonton siaran berita atau pun gelar wicara. Di Batam, saya juga berlangganan beberapa harian lokal berbahasa Indonesia untuk saya lembur di akhir pekan.
Saya juga rutin berbelanja buku di Gramedia Batam setiap bulan untuk bekal sehari-hari saat menuju kantor. Buku-buku yang saya incar biasanya buku-buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia, bukan buku terjemahan. Saya suka khawatir kalau membaca buku terjemahan saya justru akan semakin tidak bisa membedakan mana yang bahasa Indonesia asli dan mana yang bahasa Indonesia yang sudah terpengaruh bahasa Inggris. Lebih nyaman rasanya sebagai upaya melakukan katarsis dari bahasa Inggris untuk membaca kumpulan cerpen, novel, atau juga puisi yang ditulis dalam bahasa Indonesia.
Untuk asupan yang lebih spesifik berbau bahasa dan penerjemahan, saya juga masih mengikuti berita dan diskusi yang ada di milis Bahtera, grup Facebook HPI, dan blog-blog penerjemah, seperti blog Mbak Dina Begum atau blog Bahtera. Menulis di blog ini sebenarnya juga salah satu upaya saya agar tidak kehilangan bahasa Indonesia. Nah, jadi pertanyaannya sekarang, menurut Anda apakah tulisan saya ini masih berasa bahasa Indonesia ataukah sudah ada tanda-tanda tercemar oleh bahasa Inggris di sana-sini?
Tulisan yang menarik, Mas Ade. Menurut pendapat saya, tulisan ini masih “bersih dan murni” alias tidak tercemar oleh Bahasa Inggris. 😀
Komentar by Desak Pusparini — 12/09/2014 @ 17:52
Menurut saya tulisan di atas masih berasa bahasa Indonesia kok, Mas Ade 🙂
Saya sendiri yang tinggal di Indonesia kadang khawatir bahasa Indonesia saya “luntur” gara-gara gempuran bahasa gaul yang sulit dibendung belakangan ini. Selain itu, saya pernah mendapat kesempatan mengedit novel lokal, dan astaga, ternyata bahasa Indonesia-nya pun terasa banget keasingannya. Mis. “Tidak dalam ratusan tahun aku buang air di sini!” pekiknya histeris. Nah lo! Kalau kayak begini kan terbayang kalimat bahasa Inggrisnya apa, padahal buku lokal. #curcol.
Untuk menyiasatinya, asupan utama saya biasanya majalah dan koran cetak yang menurut saya berkualitas dari segi bahasa, seperti Kompas dan Tempo. Buku terjemahan selalu saya baca. Alasannya, selain karena yang diterjemahkan biasanya buku populer di luar negeri, saya perlu mempelajari perkembangan terjemahan. Bahkan kalau secara “konsensus” terjemahannya oke, saya pasti cari buku aslinya sekalian buat belajar. Gitu aja, Mas Ade, maaf jadi panjang hehe…
Komentar by lulu — 13/09/2014 @ 07:46
menarik tulisan kang Ade…kekhawatiran yang beralasan..tetapi solusi yang dilakukan kang Ade, bisa ditiru….n…tulisan mas ade..masih ‘pure” Indonesia
Komentar by nurdin — 14/09/2014 @ 04:12
Terima kasih Mbak Desak dan Pak Nurdin. 🙂
Komentar by Ade — 18/09/2014 @ 12:09
Bener mbak Lulu. Penerjemah di Indonesia pun kan setiap hari menghadapi teks bahasa Inggris. Sekilas baca bahasa Inggris, sekilas nulis terjemahan dalam bahasa Indonesia. Jaraknya dekat juga.
Barusan saya baca di situs google ada terjemahan: Anda ingin ditemukan orang di web. Kami menawarkan tangan. (mungkin terpengaruh dengan idiom Inggris lend a hand?). Anehnya lagi waktu saya coba buka situs Inggrisnya, di situ malah tertulis: You want to be found on the web. We want to help. Jadi gak tahu dari mana si penerjemah dapat lend a hand itu.he2
Iya, sebenarnya saya juga pengen mulai membaca-baca buku terjemahan buat pembelajaran. Tapi kayaknya harus pilih-pilih dulu terjemahan yang benar-benar lurus. Biar tidak tambah nyasar.he2
Komentar by Ade — 18/09/2014 @ 12:17
Wah saya yang ingin bisa bahasa inggris ternyata ada yang bisa membuat kita lupa bahasa negeri sendiri ya. Patut diacungkan jempol atas usaha sharing & tetap menggunakan bahasa ibu Indonesia 😀
Komentar by Muhammad Badrul Haq — 29/03/2016 @ 15:43